Nada suara Rajadat Bukit terdengar berat saat menceritakan nasib rumah adat milik keluarganya di Desa Melas, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara Matanya menerawang ke masa 30 tahun lalu, saat dirinya bersama tujuh keluarga lain harus meninggalkan rumah adat. Gerimis sore itu seperti memaksa Rajadat mengingat satu-satunya kesalahan komunal warga Karo yang menelantarkan warisan leluhur mereka, tak dapat merawat rumah adat.
Rumah adat milik keluarga Rajadat kini hampir rusak seluruhnya. Atap ijuknya di beberapa tempat telah berlubang, tak kuasa menahan gempuran air hujan. Akibat lama tak dirawat, banyak lumut tumbuh di atap ijuk tersebut.
“Saya lahir dan besar di rumah adat. Bahkan, sampai anak bungsu saya lahir, saya masih tinggal di sana. Sekarang anak bungsu saya sudah berusia 30 tahun,” ujar Rajadat yang mengaku tak lagi mendiami rumah adat sejak akhir 1970-an. “Mungkin sekitar tahun 1979 rumah itu tak lagi kami tempati. Saya tak ingat kapan persisnya,” kata Rajadat.
Rumah adat milik keluarga Rajadat didirikan pada 1922. Rajadat, yang kini berusia 68 tahun, mengingat, kakeknya yang dulu membangun rumah adat. Kini dia memasrahkan perbaikan rumah adat keluarganya kepada komunitas anak-anak muda yang tergabung dalam Sanggar Seni Tinuang dari Universitas Negeri Medan (Unimed) dan Sanggar Seni Sirulo dari Universitas Sumatera Utara (USU).
Kepedulian mahasiswa
Awalnya, aktivis Sanggar Seni Tinuang yang kebanyakan berasal dari mahasiswa Jurusan Seni Rupa Unimed mencoba memperbaiki dinding kayu rumah milik keluarga Rajadat. Mereka mengecat ulang dan menggambar beberapa ornamen adat khas Karo. Selain itu, anak-anak muda ini juga membuat beranda dari batang bambu di depan pintu. Beranda itu dilengkapi tangga kecil karena memang rumah adat Karo berbentuk panggung.
Karena ditinggalkan lama, jangankan beranda atau tangga, rumah adat di Desa Melas ini kondisinya mengenaskan hingga di bagian dalam. Tak bersisa sedikit pun bekas bahwa di dalam rumah pernah tinggal delapan keluarga. Namun, struktur bangunan rumah masih banyak yang utuh. Bekas dapur atau perapian masih tersisa dua, dari biasanya ada empat. Bagi rumah adat yang didiami delapan keluarga, biasanya memiliki empat dapur. Satu dapur untuk dua keluarga.
Selain itu, ornamen tempat menggantung bumbu masakan hingga tempat mengeringkan padi masih tersisa di dalam rumah. Struktur panggung rumah juga masih utuh. Kayu juhar dan ingul yang bisa dijadikan penopang lantai dan panggung rumah masih utuh dan selamat dari keropos. Hanya saja lantai rumah tak lagi bersisa. Kerusakan lain yang jelas terlihat adalah atap ijuknya.
Upaya aktivis Sanggar Seni Tinuang memperbaiki rumah adat Karo tersebut rupanya diketahui penggiat seni tradisi Karo lainnya di USU, yakni Sanggar Seni Sirulo. Secara kebetulan, komunitas yang tergabung dalam Sanggar Seni Sirulo menerbitkan tabloid bulanan bagi komunitas Karo di seluruh dunia. Mereka pun kemudian mengekspos upaya perbaikan rumah adat oleh Sanggar Seni Tinuang.
“Akhirnya kami berdiskusi dan sepakat agar ada gerakan moral untuk menyelamatkan rumah adat Karo dari kepunahan. Kami kemudian menggagas gerakan pengumpulan koin sebagai simbol kampanye moral menyelamatkan rumah adat Karo. Kami berharap kampanye ini bisa membuat masyarakat Karo di mana pun mereka tinggal sekarang ini ikut tergerak menyelamatkan warisan leluhurnya,” ujar salah seorang aktivis Sanggar Seni Sirulo, Juara Ginting.
Juara, yang kebetulan juga pengajar di Jurusan Antropologi USU, tengah meneliti rumah adat Karo untuk disertasi doktoralnya di Universitas Leiden, Belanda. Bak gayung bersambut, upaya sesama anak muda Karo yang kebetulan tengah menempuh studi di Medan ini diwujudkan dalam Deklarasi Penyelamatan Rumah Adat Karo di Desa Melas, Sabtu (29/5). Diiringi gerimis, mereka berkumpul bersama perwakilan delapan keluarga pemilik rumah adat. Rajadat adalah kepala dari delapan keluarga yang pernah tinggal di rumah adat Desa Melas.
Sebenarnya masih ada satu bangunan rumah adat lain di Desa Melas. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari rumah adat milik keluarga Rajadat. Namun, kondisinya sudah tak mungkin lagi diperbaiki. Atap ijuknya jebol. Air hujan langsung menimpa struktur kayu. “Rumah yang satu lagi tinggal menunggu runtuh. Kami tak mungkin lagi memperbaikinya. Sebenarnya yang seperti ini banyak dijumpai di pelosok desa Tanah Karo. Rumah adat yang rusak parah dan tinggal menunggu runtuh,” kata Juara. Rumah adat bagi masyarakat Karo adalah simbol komunalitas mereka.
Sabtu sore itu, setelah disepakati bagaimana cara menggalang dana memperbaiki rumah adat, dua komunitas seni tersebut berbarengan menampilkan seni musik tradisional Karo di hadapan seluruh penduduk Desa Melas. Seperti ingin menggugah kesadaran penduduk setempat akan warisan leluhur mereka, selain bermain musik dan menyanyi, mahasiswi USU dan Unimed tersebut juga mengajak warga menari landek, tarian keakraban dalam masyarakat Karo.
Niat baik dan kepedulian anak-anak muda Karo ini membuat trenyuh Kepai Tarigan yang pernah mendiami rumah adat di Desa Melas. Kepai merupakan kerabat Rajadat. Dia mengatakan, jika sampai rumah adat mereka selesai diperbaiki, mereka mempersilakan siapa pun yang hendak tinggal dan merawatnya. “Tanpa kami pungut apa pun, asal mau merawat rumah tersebut,” ujar Kepai. Bagi Kepai dan Rajadat, sudah cukup generasi setelah mereka mengingatkan kesalahan kebanyakan warga Karo yang membiarkan rumah adat mereka di ambang kepunahan.
Banyak pihak sebenarnya peduli terhadap ancaman kepunahan rumah adat Karo. Kolektor rumah adat di Indonesia malah tak peduli mengeluarkan banyak biaya untuk mengangkut seluruh struktur bangunan rumah adat itu supaya bisa dibawa ke luar Tanah Karo dan dimiliki mereka. Rumah adat milik keluarga Rajadat sempat ditawar untuk dibeli oleh Gereja Batak Karo Protestan. Namun, akhirnya keluarga memutuskan, tak menjualnya. Terlebih setelah ada niatan dua komunitas seni tradisi Karo di Medan memperbaiki rumah tersebut.
Menurut Juara, koin yang dikumpulkan ini akan menjadi titik awal perjuangan mereka merevitalisasi rumah adat Karo. “Semoga dengan upaya kami ini, akan semakin banyak orang Karo tergugah menyelamatkan salah satu identitas komunitasnya. Bagaimana pun rumah adat ini salah satu bentuk peneguhan identitas orang Karo,” katanya.
Sumber: KOMPAS, Senin, 2 Agustus 2010
Hal: 36, Kolom TEROPONG - Nasional
Sumber: KOMPAS, Senin, 2 Agustus 2010
Hal: 36, Kolom TEROPONG - Nasional